Minggu, 01 Januari 2012

III. Kaidah Kedua


اليقين لايزال با لشاك Yakin itu tidak dapat dihilangkan dengan kebimbangan”.

  1. Dasar Kaidah
Sumber kaidah ini dari hadits yang berbunyi ;
قال رسولالله صلى الله عليه وسلم : إذاوجد احد كم في بطنه شيئا فأشكل عليه اخرج منه شيً ام لا فلا يخرجن من المسجد حتى يسمع صوتا أويجد ريحا
“Manakala seseorang diantaramu menemukan sesuatu dalam perutnya, lalu ia ragu, adakah sesuatau yang keluar darinya atau tidak, maka janganlah ia keluar dari masjid, sampai ia mendengar suara atau menemukan bau”.
2. Uraian Kaidah.
Kaidah-kaidah itu antara lain :
1. الأصل بقاء ما كا ن على ما كا ن Yang jadi pokok adalah tetapnya sesuatu pada keadaan semula”.
Misal, seseorang mempunyai wudlu, lau ia ragu sudah batalkan atau belum, maka hukumnya ia tetap mempunyai wudlu.
2. الأصل برأة الدّمّة Yang jadi patokan adalah bebas dari gangguan”.
Misal, A mengadukan B, bahwa B berhutang Rp. 1.000,- kepadanya, tetapi pengaduan itu tidak disertai dengan bukti maupun saksi, sedang B menyangkal dan mengatakan bahwa ia tidak merasa berhutang. Maka menurut hukum, pengaduan A tertolak.
3. من شك هل فعل شيئا اولا؟ فاالأصل انّه لم يفعله jika ada orang ragu, apakah ia sudah mengerjakan sesuatu atau belum, maka dianggap belum berbuat”.
Misal, A mengadukan bahwa B berhutang Rp. 1000,- kepadanya lalu didepan pengadilan terjadilah dialog seperti ini :
Hakim : B ! benarkah kau berhutang Rp. 1.000,_ kepada A?
B : benar, tapi sudah saya lunasi
Hakim : Ku punya tanda bukti pembayaran hutang ?
B : tidak
Hakim : A !, kata B hutangnya kepadamu sudah dibayar belum ?
A : belum.
Maka berdasar kaidah ini, hakim memutuskan, bahwa hutang b kepada B belum terlunasi.
4. من تيقن الفعل وشك فى القليل أوالكثير حمل على القليل “jika seseorang telah yakin berbuat (sesuatu), tetapi ia ragu tentang banyak sedikitnya, maka yang dihitung adalah yang sedikit”.
Seseorang yang tengah-tengahnya sholat dzuhur merasa ragu, apakah yang telah dikerjakanya empat rakaat atau baru tiga rakaat. Berdasarkan kaidah ini, yang dihitung adalah tiga rakaat dan ia harus menambah satu rakaat lagi.
5. الأصل العدم “ Asal (di dalam hak) itu tidak ada”.
Misal, A menyerahkan Rp. 10.000,- kepada B untuk digunakan modal, dengan perjanjian keuntungan dibagi dua. Selang beberapa lama, A menuduh bahwa B telah memperoleh keuntungan dari uang modal tersebut, tetapi B menyangkal tuduhan itu. Berdasarkan kaidah ini yang dibenarkan adalah B yang menyatakan tidak/belum ada keuntungan.
6. الأصل فىكلّ حاد ث تقد يره بأقرب زمن
“Tiap-tiap yang baru itu harus dikira-kirakan kepada masa yang lebih dekat”.
Misal, orang melihat bekas mani pada sarung yang dipakainya, ia ragu mari kemarinkah karenanya ia mandi atau mani baru setelah ia baru bangun dari tidur. Berdasar kaidah ini bahwa mani itu adalah baru dan bukan yang kemarin.
7. الأصل في الأشياء الإبا حة حتى يدل الدليل على التحرى علي التحريم Segala sesuatu yang pada dasarnya boleh, kecuali bila ada dalil yang mengharamkanya”.
Ini Menurut madzhab Syafi’i, sedang menurut madzhab Hanafi sebaliknya :
الأصل في الأشياءالتحريم حتى يدل الدليل على الإباحة
”Segala sesuatu itu pada dasranya haram, kecuali bila ada dalil yang membolehkanya”.
Perbedaan antara Imam Syafi’i dan Imam Hanafi dalam hal ini, mengecualikan masalah-masalah yang ada hubunganya dengan farji. Dalam perkara satu ini, kedua beliau sepakat menghukumnya haram.
Misal, dalam sebuah desa ada 10 orang perempuan. Satu diantaranya diketahui ada hubungan mahrom dengan A (laki-laki) tetapi ia belum/tidak tahu yang mana diantara 10 perempuan itu yang ada hubungan mahram denganya. Maka menurut hukum ke 10 perempuan tersebut tudak boleh dinikahi (oleh A) salah satunya.
8. الأصل فى الكلام الحقيق “Ucapan itu asalnya adalah haqiqah”.
Jadi kalau ada ucapan yang bisa diartikanhakikah dan dapat pula diartikan majaz/kiasan, maka ucapan itu harus diartikan secara haqiqah.
Misal, orang bersumpah “demi Allah saya tidak akan membeli baju”. Lalu ia menyuruh orang lain untuk mmbelikan baginya, maka menurut kaidah ini orang tersebut tidak dianggap melanggar sumpah.
9. اذا تعا رض الأصل والظا هر Kalau terjadi pertentangan antara asal dan dhahir”.
a) Ditafshil, adakalanya asal yang dimenangkan dan ada kalanya dhahir yang dimenangkan.
Misal, suami istri tinggal dalam satu atap, istri mengaku sudah digauli, sedang suami berkata belum. Kalau kita berpegang pada asal, maka yang dibenarkan adalah suami, dan jika berpegang pada dhahir, maka yang dibenarkan adalah istri. Dalam hal ini berselisih pendapat.
b) Mana kala dhahir bertentangan dengan asal, padahal dhahir dikuatkan dengan landasan yang menurut syara’ dapat dibenarkan, atau dhahir itu dikuatkan oleh suatu sebab atau kebiasaan/adat, maka dhahir harus dimenangkan.
Misal, ada seekor kambing kencing dekat air, air itu mungkin kecipratan/tidak, tetapi pada kenyataanya, air berubah, maka dhahir air kena najis dimenangkan.
c) Apabila asal bertentangan, padahal sebab kemungkinanya lemah, maka yang dimenangkan adalah asal.
Misal, pakaian membuat arak asalnya suci. Boleh jadi pakaian itu kena arak, tetapi kemungkinanya lemah sekali, maka pakaian tersebut tetap suci.
d) Kalau asal bertentangan dengan dhahir da dhahir lebih kuat, maka dhahirlah yang dimenangkan adalah asal.
Orang sholat, setelah salam ia bimbang apakah ia tidak meninggalkan salah satu rukun selain niat dan takbiratul ikhram. Maka ia tidak wajib mengulang sholatnya.
e) Apabila asal bertentangan dengan kemungkinan kemungkinan, maka asal tetap dimenangkan.
Misal, seseorang melakukan sholat dzuhur dan ia yakin, bahwa sudah mengerjakan tiga rakaat tetapi mungkin juga empat rakaat. Berdasarkan kaidah ini, sholat itu dihitung 3 rakaat.
10. إذاتعارض الأصلان Apabila ada dua asal yang saling bertentangan, maka
a) Yang lebih kuat dimenangkan.
Misal, sumi istri telah bertahun-tahun, kemudian terjadi tuduh menuduh, istri mengatakan bahwa suaminya belum pernah menggaulinya, sebab impotent. Sedang suami mengatakan sudah menggaulinya dimasa belum impoten. Maka 2 perkara ini yang dimenangkan adalah suami, sebab asal tidak impotent lebih kuat, dikuatkan oleh lamanya mereka berkumpul sebagai suami istri.
b) Jika dua asal saling bertentangan tersebut masing-masimh tidakmempunyai penguat, maka ulama etap berselisih pendapat.
misal, orang berpuasa dan yakin sudah niat, tetapi ragu, apakah niatnya dilakukan sebelum fajar/sudah fajar. Dari 2 pertentangan ini ulam berbeda pendapat.
· Sebagian mengatakan puasa itu tidak sah, sebab niat itu asalnya adalah tidak niat.
· Ulama lain berpendapat, bahwa puasa itu sah, sebab sudah fajar, asalnya sebelum fajar.
11. والظا هران ربما تعارضا وهو قليل “Dhahir itu kadang-kadang juga bertentangan dengan dhahir lain, meskipun jarang terjadi.
Misal, sepasang lelaki dan perempuan tertangkap disebuah hotel, si lelaki kelihatan jauh lebih muda dari pada perempuan. Pada waktu diperiksa, yang perempuan mengatakan, bahwa lelaki itu adalah suaminya yang syah dan lelakipun membenarkan.
Dalam hal ini menurut Qoul-Jadid : ikrar serta pembenaranya dapat diterima, tetapi menurut Qoul Qodim : tidak dapat diterima, sebab keadaanya meragukan, jadi untuk menerima ikrar serta pembenaranya tersebut harus ada saksi.
3. Macam-macam Syak
1. Syak atas Asal yang Haram
Misalnya, ada seekor kambing disembelih didaerah yang berpenduduknya campuran antara muslimin dan majusi. Kambing tersebut hukumnya tidak halal, sebab asalnya haram.
2. Syak atas Asal yang Mubah
Misalnya, Ada air berubah, yang mungkin disebabkan oleh najis dan mungkinpula itu karena terlalu lama tergenang. Menurut hukum, air tersebut dapat digunakan, sebab asalnya memang air itu suci.
3. Syak atas yang tidak diketahui asalnya.
Misalnya, A berhubungan kerja dengan orang yang sebagian besar uangny adalah uang haram. Hukumnya boleh, sebab tidak dapat diketahui dari mana uang itu (yang digunakan untuk mu’amalah) berasal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar