Minggu, 01 Januari 2012

III. Kaidah Kedua


اليقين لايزال با لشاك Yakin itu tidak dapat dihilangkan dengan kebimbangan”.

  1. Dasar Kaidah
Sumber kaidah ini dari hadits yang berbunyi ;
قال رسولالله صلى الله عليه وسلم : إذاوجد احد كم في بطنه شيئا فأشكل عليه اخرج منه شيً ام لا فلا يخرجن من المسجد حتى يسمع صوتا أويجد ريحا
“Manakala seseorang diantaramu menemukan sesuatu dalam perutnya, lalu ia ragu, adakah sesuatau yang keluar darinya atau tidak, maka janganlah ia keluar dari masjid, sampai ia mendengar suara atau menemukan bau”.
2. Uraian Kaidah.
Kaidah-kaidah itu antara lain :
1. الأصل بقاء ما كا ن على ما كا ن Yang jadi pokok adalah tetapnya sesuatu pada keadaan semula”.
Misal, seseorang mempunyai wudlu, lau ia ragu sudah batalkan atau belum, maka hukumnya ia tetap mempunyai wudlu.
2. الأصل برأة الدّمّة Yang jadi patokan adalah bebas dari gangguan”.
Misal, A mengadukan B, bahwa B berhutang Rp. 1.000,- kepadanya, tetapi pengaduan itu tidak disertai dengan bukti maupun saksi, sedang B menyangkal dan mengatakan bahwa ia tidak merasa berhutang. Maka menurut hukum, pengaduan A tertolak.
3. من شك هل فعل شيئا اولا؟ فاالأصل انّه لم يفعله jika ada orang ragu, apakah ia sudah mengerjakan sesuatu atau belum, maka dianggap belum berbuat”.
Misal, A mengadukan bahwa B berhutang Rp. 1000,- kepadanya lalu didepan pengadilan terjadilah dialog seperti ini :
Hakim : B ! benarkah kau berhutang Rp. 1.000,_ kepada A?
B : benar, tapi sudah saya lunasi
Hakim : Ku punya tanda bukti pembayaran hutang ?
B : tidak
Hakim : A !, kata B hutangnya kepadamu sudah dibayar belum ?
A : belum.
Maka berdasar kaidah ini, hakim memutuskan, bahwa hutang b kepada B belum terlunasi.
4. من تيقن الفعل وشك فى القليل أوالكثير حمل على القليل “jika seseorang telah yakin berbuat (sesuatu), tetapi ia ragu tentang banyak sedikitnya, maka yang dihitung adalah yang sedikit”.
Seseorang yang tengah-tengahnya sholat dzuhur merasa ragu, apakah yang telah dikerjakanya empat rakaat atau baru tiga rakaat. Berdasarkan kaidah ini, yang dihitung adalah tiga rakaat dan ia harus menambah satu rakaat lagi.
5. الأصل العدم “ Asal (di dalam hak) itu tidak ada”.
Misal, A menyerahkan Rp. 10.000,- kepada B untuk digunakan modal, dengan perjanjian keuntungan dibagi dua. Selang beberapa lama, A menuduh bahwa B telah memperoleh keuntungan dari uang modal tersebut, tetapi B menyangkal tuduhan itu. Berdasarkan kaidah ini yang dibenarkan adalah B yang menyatakan tidak/belum ada keuntungan.
6. الأصل فىكلّ حاد ث تقد يره بأقرب زمن
“Tiap-tiap yang baru itu harus dikira-kirakan kepada masa yang lebih dekat”.
Misal, orang melihat bekas mani pada sarung yang dipakainya, ia ragu mari kemarinkah karenanya ia mandi atau mani baru setelah ia baru bangun dari tidur. Berdasar kaidah ini bahwa mani itu adalah baru dan bukan yang kemarin.
7. الأصل في الأشياء الإبا حة حتى يدل الدليل على التحرى علي التحريم Segala sesuatu yang pada dasarnya boleh, kecuali bila ada dalil yang mengharamkanya”.
Ini Menurut madzhab Syafi’i, sedang menurut madzhab Hanafi sebaliknya :
الأصل في الأشياءالتحريم حتى يدل الدليل على الإباحة
”Segala sesuatu itu pada dasranya haram, kecuali bila ada dalil yang membolehkanya”.
Perbedaan antara Imam Syafi’i dan Imam Hanafi dalam hal ini, mengecualikan masalah-masalah yang ada hubunganya dengan farji. Dalam perkara satu ini, kedua beliau sepakat menghukumnya haram.
Misal, dalam sebuah desa ada 10 orang perempuan. Satu diantaranya diketahui ada hubungan mahrom dengan A (laki-laki) tetapi ia belum/tidak tahu yang mana diantara 10 perempuan itu yang ada hubungan mahram denganya. Maka menurut hukum ke 10 perempuan tersebut tudak boleh dinikahi (oleh A) salah satunya.
8. الأصل فى الكلام الحقيق “Ucapan itu asalnya adalah haqiqah”.
Jadi kalau ada ucapan yang bisa diartikanhakikah dan dapat pula diartikan majaz/kiasan, maka ucapan itu harus diartikan secara haqiqah.
Misal, orang bersumpah “demi Allah saya tidak akan membeli baju”. Lalu ia menyuruh orang lain untuk mmbelikan baginya, maka menurut kaidah ini orang tersebut tidak dianggap melanggar sumpah.
9. اذا تعا رض الأصل والظا هر Kalau terjadi pertentangan antara asal dan dhahir”.
a) Ditafshil, adakalanya asal yang dimenangkan dan ada kalanya dhahir yang dimenangkan.
Misal, suami istri tinggal dalam satu atap, istri mengaku sudah digauli, sedang suami berkata belum. Kalau kita berpegang pada asal, maka yang dibenarkan adalah suami, dan jika berpegang pada dhahir, maka yang dibenarkan adalah istri. Dalam hal ini berselisih pendapat.
b) Mana kala dhahir bertentangan dengan asal, padahal dhahir dikuatkan dengan landasan yang menurut syara’ dapat dibenarkan, atau dhahir itu dikuatkan oleh suatu sebab atau kebiasaan/adat, maka dhahir harus dimenangkan.
Misal, ada seekor kambing kencing dekat air, air itu mungkin kecipratan/tidak, tetapi pada kenyataanya, air berubah, maka dhahir air kena najis dimenangkan.
c) Apabila asal bertentangan, padahal sebab kemungkinanya lemah, maka yang dimenangkan adalah asal.
Misal, pakaian membuat arak asalnya suci. Boleh jadi pakaian itu kena arak, tetapi kemungkinanya lemah sekali, maka pakaian tersebut tetap suci.
d) Kalau asal bertentangan dengan dhahir da dhahir lebih kuat, maka dhahirlah yang dimenangkan adalah asal.
Orang sholat, setelah salam ia bimbang apakah ia tidak meninggalkan salah satu rukun selain niat dan takbiratul ikhram. Maka ia tidak wajib mengulang sholatnya.
e) Apabila asal bertentangan dengan kemungkinan kemungkinan, maka asal tetap dimenangkan.
Misal, seseorang melakukan sholat dzuhur dan ia yakin, bahwa sudah mengerjakan tiga rakaat tetapi mungkin juga empat rakaat. Berdasarkan kaidah ini, sholat itu dihitung 3 rakaat.
10. إذاتعارض الأصلان Apabila ada dua asal yang saling bertentangan, maka
a) Yang lebih kuat dimenangkan.
Misal, sumi istri telah bertahun-tahun, kemudian terjadi tuduh menuduh, istri mengatakan bahwa suaminya belum pernah menggaulinya, sebab impotent. Sedang suami mengatakan sudah menggaulinya dimasa belum impoten. Maka 2 perkara ini yang dimenangkan adalah suami, sebab asal tidak impotent lebih kuat, dikuatkan oleh lamanya mereka berkumpul sebagai suami istri.
b) Jika dua asal saling bertentangan tersebut masing-masimh tidakmempunyai penguat, maka ulama etap berselisih pendapat.
misal, orang berpuasa dan yakin sudah niat, tetapi ragu, apakah niatnya dilakukan sebelum fajar/sudah fajar. Dari 2 pertentangan ini ulam berbeda pendapat.
· Sebagian mengatakan puasa itu tidak sah, sebab niat itu asalnya adalah tidak niat.
· Ulama lain berpendapat, bahwa puasa itu sah, sebab sudah fajar, asalnya sebelum fajar.
11. والظا هران ربما تعارضا وهو قليل “Dhahir itu kadang-kadang juga bertentangan dengan dhahir lain, meskipun jarang terjadi.
Misal, sepasang lelaki dan perempuan tertangkap disebuah hotel, si lelaki kelihatan jauh lebih muda dari pada perempuan. Pada waktu diperiksa, yang perempuan mengatakan, bahwa lelaki itu adalah suaminya yang syah dan lelakipun membenarkan.
Dalam hal ini menurut Qoul-Jadid : ikrar serta pembenaranya dapat diterima, tetapi menurut Qoul Qodim : tidak dapat diterima, sebab keadaanya meragukan, jadi untuk menerima ikrar serta pembenaranya tersebut harus ada saksi.
3. Macam-macam Syak
1. Syak atas Asal yang Haram
Misalnya, ada seekor kambing disembelih didaerah yang berpenduduknya campuran antara muslimin dan majusi. Kambing tersebut hukumnya tidak halal, sebab asalnya haram.
2. Syak atas Asal yang Mubah
Misalnya, Ada air berubah, yang mungkin disebabkan oleh najis dan mungkinpula itu karena terlalu lama tergenang. Menurut hukum, air tersebut dapat digunakan, sebab asalnya memang air itu suci.
3. Syak atas yang tidak diketahui asalnya.
Misalnya, A berhubungan kerja dengan orang yang sebagian besar uangny adalah uang haram. Hukumnya boleh, sebab tidak dapat diketahui dari mana uang itu (yang digunakan untuk mu’amalah) berasal.

BAB II PEMBAHASAN AL-UMURU BI MAQASHIDIHA


A. Pengertian Kaidah
Kaidah pertama ini al-umuru bi maqashidiha terbentuk dari dua unsur yakni lafadz al-umuru dan al- maqashid merupakan bentuk pluralyang terbentuk dari lafadz al-amru dan al-maqshod.
Secara etimologi lafadz al-umuru merupakan bentuk plural dari lafadz al-amru yang berarti keadaan, kebutuhan, peristiwa dan perbuatan. jadi, dalam bab ini lafadz al-umuru bi maqashidiha diartikan sebagai perbuatan dari salah satu anggota. Sedangkan menurut terminologi berarti perbutan dan tindakan mukallaf baik ucapan atau tingkah laku, yang dikenai hokum syara’ sesuai dengan maksud dari pekerjaan yang dilakukan.

B. Makna Kaidah
Kaidah ini memiliki arti bahwasanya setiap perbuatan yang dilakukan tergantung pada niat yang dimunculkan, artinya setiap niat yang terefleksikan dalam tindakan nyata, maka niat yang tidak terealisasikan dalam bentuk dlhohir maka tidak akan berimplikasi pada wujud syar’i.
Hukum perbuatan dikembalikan pada niat, apabila seseorang meningggalkan hal-hal yang dilarang demi melaksanakan perintah, maka dia diberi pahala atas perbuatannya., tapi apabila dia meninggalkan hal-hal yang dilarang tersebut hanya berdasarkan kebiasaan maka tidak ada pahala baginya, contoh:Allah melarang makan bangkai diselain keadaan darurat, berdasarkan firman Allah:
حرمت عليكم الميتة                                       
“ Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, “

Apabila seseoraang meninggalkan makan bangkai karena dia jijik, maka tidak ada pahala baginya, tapi apabila dia tidak makan bangkai karena ada larangan syara’ maka Allah memberi pahala baginya.

C. Dasar Kaidah
1. Al-Qur’an
Qoidah Al umuru bi maqoshidiha terbangun dari pesan terdalam dalam surat AL Bayyinah (5) tentang keharusan melakukan niat dalam ibadah.

وما أمروا إلا ليعبدوا الله مخلصين له الدين
“Mereka (orang-orang kafir)tidak diperintahkan kecuali untuik beribadahkepada Allah, seraya memurnikan ikhlas dlam beragama (ibadah)”
Dalam konteks ayat diatas,al Qurtubi menafsiri kata al din adalah ibadah. Dalam penafsiran ini beliau menjelaskan bahwa ikhlas yang termuat dalam kata mukhlishin, adalah perbuatan hati yang hanya di lakukan dalam rangka beribadah. Ikhas sendiri adalah perbuatan hati yang hanya bisa terwujud melalui perantara niat. Karena itu, jelaslah bahwa ada keterkaitan antara ibadah dan niat.

2. Al-Hadist
Hadist NAbi SAW yang menjadi pondasi terbangunnya kaidah ini adalah
انما الاعمال بالنيات

“keabsahan amal-amal tergantung pada niat”
Penelusuran secara semantik juga akan menguak kandungan terdalam hadits tersebut, sekaligus akan ditemukan beberapa elemen penting yang membuatnya layak untuk dijadikan bahan pijakan membangun kaidah “al-umuru bi maqashidiha ini. Pada permulaan hadits itu terdapat huruf innama yang berfungsi sebagai media “pembatas”rangkaian kalimat sesudahnya (adat al-hashr) artinya , ketika kata al-a’mal bi al-niyyat didahului oleh kata innama, maka akan menimbulkan pengertian bahwa hanya dengan niatlah amal perbuatan seseorang akan layak diperhitungkan; dianggap sebagai amal ibadah, tidak dengan selainnya.

D. Aplikasi Kaidah
Berdasarkan pengertian dan makna qoidah bahwasanya setiap perbuatan yang dilakukan tergantung pada niat yang dimunculkan, jika sebuah pekerjaan tidak diniati, maka pekerjaan itu tidak dianggap sah menurut syari’at, begitu juga pekerjaan yang kita kerjakan pasti didasari niat (tujuan )tertentu, maka seseorang yang niat melakukan kebajikan dan tidak sampai terlaksana, sayri’at tetap memberi penghargaan padanya dengan menghadiahkan satu pahala.


E. Hal-Hal Yang Berhubungan Dengan Niat
Secara garis besar, hal-hal yang berhubungan dengan niat ada tujuh macam yaitu :
1. Subtansi niat
Niat secara etimologi adalah kesengajaan atau tujuan, sedangkan menurut pengertian syariat adalah ketetapan hati untuk melaksakan sesuatu, sedangkan menurut istilah fuqoha’ niat adalah kesengajaan melakukan sesuatu yang bersamaan dengannya.

2. Satatus niat
Fuqoha’ berbeda pendapat dalam menentukan status niat dalam ibadah, apakah ia merupakan syarat atau rukun? Adapun pendapat yang mengatakan niat itu termasuk rukun adalah pendapat yang dibuat pegangan.Ulama’ yang melihat dari sisi penyebutan niat harus dilakukan pada permulaan ibadah, akan menyimpulkan bahwa niat adalah rukun.Sementara mereka yang memandang bahwa niat harus tetap ada (tidak ada perbuatan yang bertentangan dan memutus niat), akan memberi status niat sebagai syarat.

3. Tempat niat
Tempat niat adalah didalam hati, sehingga apabila ada sebuah niat yang diucapkan dengan lisan maka niat itu tidak sah. Dan apabila ada sebuah niat dilakukan pada dua tempat yaitu hati dan lisan maka yang dimenangkan adalah niat yang ada didalam hati.Misalkan seperti dalam sholat,.ketika seseorang sholat dhuhur, dan lisannya berniat sholat dhuhur dengan jama’ah sedangkan didalam hatinya tidak bt sholat jama’ah, maka seseorang itu tidak dihukumi sholat jama’ah.
Perbedaan ulama’tentang melafadzkan niat:
Madzhab Syafi’i: Sunnah
Madzhab Maliki: boleh, tetapi lebih utama ditinggal, bahkan sebagian pengikutnya yang lain menganggap bid’ah kecuali bagi orang-orang yang ragu-ragu, maka boleh melafadzkan niat untuk mengusir ragu-ragu.
Madzhab Hanbali.:bagi orang yang tidak mampu menghadirkan niat dalam hati atau ragu-ragu dalam niatnya, maka cukup baginya, niat pada lisan.
Madzhab Hanafi:sebagian mengatakan sunnah, dan sebagian yang lain mengatakan makruh.

4. Waktu niat
Pelaksanaan niat secara umum adalah pada awal ibadah.Hal ini didasarkan penelitian ulama’yang mengatakan bahwa huruf ba’ yang terdapat pada kata bi al niyyat mempunyai makna mushahabah (membersamakan). Hal ini memberikan sebuah pengertian bahwa niat merupakan bagian dari amal itu sendiri.Namun ada pengecualian dalam hal ini. Seperti pada ibadah puasa wajib.Pada awalnya, niat puasa wajib harus dilakukan pada awal pelaksanaannya;yaitu tepat pada saat muncul fajar shadiq. Namun karena melihat kenyataan bahwa sangat sulit mengetahui munculnya fajar shadiq, maka syari’at memberi kebijakan bahwa niat puasa dimajukan waktunya, yaitu sebelum waktu subuh tiba.
Dalam masalah waktu pelaksanaan niat ini, banyak ritual ibadah yang mempunyai dua permulaan , yaitu:
• Awal Haqiqi adalah permulaan suatu pekerjaan yang tidak didahului oleh apapun
• Awal Nisbi adalah permulaan yang masih didahului perkara lain
Contoh ibadah yang mempunyai dua awalan ini adalah tayamum, yang pertamakali harus dilakukan adalah niat yang bersamaan dengan memindah debu(awal haqiqi), juga harus niat berbarengan dengan awal mengusap debu dengan wajah (awal nisbi).

5. Hal-hal yang membatalkan niat
Hal-hal yang membatalkan niat diantaranya:
a. Riddah atau Murtad; yaitu terputusnya agama islam seseorang, baik yang ditimbulkan dari i’tiqad (niat),ucapan atau perbuatan yang yang menyebabkannya kufur.
b. Berniat memutus atau tidak melanjutkan ibadah yang sedang dijalankan.
c. Niat mengganti atau memindah satu ibadah dengan ibadah yang lain
d. Ketidak mampuan orang yang berniat untuk melaksanakan ibadah yang diniati

6. Tata cara niat
Dalam pelaksanaanya, niat adalah suatu yang kondisional tergantung pada manwi (objek yang di niati). Jika kita mengerjakan wudhu, maka yang kita niati adalah menghilangkan ‘penghalang’ sholat seperti hadats. Lain lagi dengan sholat; dalam sholat yang di niati adalah melakukan beberapa pekerjaan dan ucapan tertentu yang di mulai dengantakbir dan di akhiri dengan salam.
Tata cara berniat ketika dikaitkan dengan masalah shalat itu berbeda-beda tergantung status shalat yang dikerjakan.
o Apabila yang dilakukan berstatus Fardlah maka ada 3 hal yang harus terpenuhi yaitu : Qashdul fiil, Ta’yin dan niat fardlu
o Apabila berstatus sunnah baik yang disandarkan pada waktu-waktu dan sebab tertentu maka ada 2 hal yang harus terpenuhi diantaranya : Qashdul fiil dan Ta’yin
o Apabila berstatus sunnah mutlak maka yang harus terpenuhi hanyalah Qashdul fiil

7. Syarat-syarat niat
Niat, seperti yang telah di paparkan di atas, pada dasarnya adalah ibadah yang tentunya mempunyai syarat-syarat tertentu.
Tanpa syarat-syarat itu, seorang tidak dapat di sebut berniat, Diantaranya:
a. Islam
b. Tamyiz (dapat membedakan baik dan buruk)
c. Mengetahui terhadap yang di niati (al-manwi)
d. Tidak adanya perkara yang menafikan niat
e. Adanya kemampuan terhadap yang diniati

8. Tujuan pelaksanaan niat
Tujuan niat mempunyai posisi yang sangat penting bila dikaitkan dengan beragam aktifitas manusia, antara lain:
a. Untuk membedakan aktifitas yang berstatus ibadah dan adat, contoh: mandi besar untuk menghilangkan jinabat dan mandi untuk membersihkan badan.
b. Untuk membedakan tingkatan-tingkatan ibadah, contoh: puasa dan sholat adakalanya yang wajib dan yang sunnah.

Maka tidak disyaratkan niat dalam ibadah yang tidak serupa dengan kebiasaan, contoh : membaca al-qur’an dzikir dan adzan.

وَهَذَا ذِكْر مَا يَرْجِعُ إلَيْهِ مِنْ الْأَبْوَاب إجْمَالًا:
مِنْ ذَلِكَ: رُبْع الْعِبَادَات بِكَمَالِهِ، كَالْوُضُوءِ، وَالْغُسْل فَرْضًا وَنَفْلًا وَالصَّلَاة بِأَنْوَاعِهَا: فَرْض عَيْن وَكِفَايَة، وَرَاتِبَة وَسُنَّة، وَنَفْلًا مُطْلَقًا، وَالْقَصْر، وَالْجَمْع، وَالْإِمَامَة وَالِاقْتِدَاء وَسُجُود التِّلَاوَة وَالشُّكْر، وَأَدَاء الزَّكَاة وَالصَّوْم فَرْضًا وَنَفْلًا، وَالْحَجّ وَالْعُمْرَة كَذَلِكَ
بَلْ يَسْرِي ذَلِكَ إلَى سَائِر الْمُبَاحَات إذَا قُصِدَ بِهَا التَّقَوِّي عَلَى الْعِبَادَة أَوْ التَّوَصُّل إلَيْهَا، كَالْأَكْلِ، وَالنَّوْم، وَاكْتِسَاب الْمَال وَغَيْر ذَلِكَ، وَكَذَلِكَ النِّكَاح وَالْوَطْء إذَا قُصِدَ بِهِ إقَامَة السُّنَّةِ أَوْ الْإِعْفَاف أَوْ تَحْصِيل الْوَلَد الصَّالِح، وَتَكْثِير الْأُمَّة، وَيَنْدَرِج فِي ذَلِكَ مَا لَا يُحْصَى مِنْ الْمَسَائِل.
مَبْحَث الثَّالِث: فِيمَا شرعت النِّيَّة لِأَجْلِهِ] [الْأَمْرُ الْأَوَّلُ: عَدَم اشْتِرَاط النِّيَّة فِي عِبَادَة لَا تَكُون عَادَة]
الْمَقْصُودُ الْأَهَمّ مِنْهَا: تَمْيِيز الْعِبَادَات مِنْ الْعَادَات، وَتَمْيِيز رُتَب الْعِبَادَات بَعْضهَا مِنْ بَعْض، كَالْوُضُوءِ وَالْغُسْل، يَتَرَدَّد بَيْن التَّنَظُّف وَالتَّبَرُّد، وَالْعِبَادَة، وَالْإِمْسَاك عَنْ الْمُفْطِرَات قَدْ يَكُون لِلْحُمِّيَّةِ وَالتَّدَاوِي، أَوْ لِعَدَمِ الْحَاجَة إلَيْهِ، وَالْجُلُوس فِي الْمَسْجِد، قَدْ يَكُون لِلِاسْتِرَاحَةِ، وَدَفْعُ الْمَال لِلْغَيْرِ، قَدْ يَكُون هِبَة أَوْ وَصْلَة لِغَرَضٍ دُنْيَوِيّ، وَقَدْ يَكُون قُرْبَة كَالزَّكَاةِ، وَالصَّدَقَة، وَالْكَفَّارَة، وَالذَّبْح قَدْ يَكُون بِقَصْدِ الْأَكْل، وَقَدْ يَكُون لِلتَّقَرُّبِ بِإِرَاقَةِ الدِّمَاء، فَشُرِعَتْ النِّيَّة لِتَمْيِيزِ الْقُرَبِ مِنْ غَيْرهَا، وَكُلٌّ مِنْ الْوُضُوء وَالْغُسْل وَالصَّلَاة وَالصَّوْم وَنَحْوهَا قَدْ يَكُون فَرْضَا وَنَذْرًا وَنَفْلًا، وَالتَّيَمُّم قَدْ يَكُون عَنْ الْحَدَث أَوْ الْجَنَابَة وَصُورَته وَاحِدَة، فَشُرِعَتْ لِتَمْيِيزِ رُتَب الْعِبَادَات بَعْضهَا مِنْ بَعْض.
وَمِنْ ثَمَّ تَرَتَّبَ عَلَى ذَلِكَ أُمُورٌ:
أَحَدهَا: عَدَم اشْتِرَاط النِّيَّة فِي عِبَادَة لَا تَكُون عَادَة أَوْ لَا تَلْتَبِس بِغَيْرِهَا، كَالْإِيمَانِ بِاَللَّهِ تَعَالَى، وَالْمَعْرِفَة وَالْخَوْف وَالرَّجَاء، وَالنِّيَّة، وَقِرَاءَة الْقُرْآن، وَالْأَذْكَار ; لِأَنَّهَا مُتَمَيِّزَة بِصُورَتِهَا، نَعَمْ يَجِب فِي الْقِرَاءَة إذَا كَانَتْ مَنْذُورَة، لِتَمْيِيزِ الْفَرْض مِنْ غَيْره، نَقَلَهُ الْقَمُولِيُّ فِي الْجَوَاهِرِ عَنْ الرُّويَانِيِّ، وَأَقَرَّهُ
وَأَمَّا التُّرُوكُ: كَتَرْكِ الزِّنَا وَغَيْره، فَلَمْ يَحْتَجْ إلَى نِيَّةٍ لِحُصُولِ الْمَقْصُود مِنْهَا وَهُوَ اجْتِنَاب الْمَنْهِيِّ بِكَوْنِهِ لَمْ يُوجَد، وَإِنْ يَكُنْ نِيَّة، نَعَمْ يُحْتَاج إلَيْهَا فِي حُصُول الثَّوَاب الْمُتَرَتِّب عَلَى التَّرْك. وَلَمَّا تَرَدَّدَتْ إزَالَة النَّجَاسَة بَيْن أَصْلَيْنِ: الْأَفْعَال مِنْ حَيْثُ إنَّهَا فِعْل، وَالتُّرُوكُ مِنْ حَيْثُ إنَّهَا قَرِيبَةٌ مِنْهَا جَرَى فِي اشْتِرَاطِ النِّيَّةِ خِلَافٌ، وَرَجَّحَ الْأَكْثَرُونَ عَدَمَهُ تَغْلِيبًا لِمُشَابَهَةِ التُّرُوكِ.